GENOTA.ID – Ini Alasannya! Berkendara di jalan raya kini bukan lagi dominasi orang dewasa saja. Beberapa tahun belakangan ini, jalan raya juga dipenuhi oleh anak-anak dan remaja yang sudah lihai mengendarai kendaraan bermotor sebagaimana orang dewasa. Akibatnya kini angka kecelakaan lalu lintas yang melibatkan anak dan remaja semakin tinggi tiap tahunnya di Indonesia.
Memasuki usia remaja, anak-anak akan mengalami banyak perubahan pada dirinya yang diakibatkan oleh perubahan hormon. Salah satunya berupa kekacauan emosi, atau emosi yang berayun menurut yang biasanya ditandai dengan banyaknya keluhan yang dirisaukan oleh anak. Antara lain tentang ketidakpuasan terhadap dirinya, lingkungan, ditambah beban-beban pelajaran di sekolah, hingga masalah dalam keluarga.
Ada beberapa faktor penting yang membuat remaja belum semestinya diberi kesempatan untuk mengemudikan kendaraan bermotor, yaitu faktor emosi, kognitif, fisik dan sosial. Keempat faktor pada diri anak-anak dan remaja yang masih dalam tahap perkembangan tersebut, menyebabkan mereka belum memiliki tingkat kematangan emosi, pola pikir dan kemampuan berkendara secara aman di jalan raya.
1. Emosi.
Perkembangan emosi yang semakin baik pada anak dan remaja belum diimbangi dengan kemampuan kognitif. Akibatnya, anak dan remaja cenderung bertindak berdasarkan emosional. Kelabilan ini juga dipengaruhi hormon, yang menyebabkan anak dan remaja cenderung meledak-ledak.
Kondisi ini menyebabkan anak dan remaja kerap mudah tersulut emosinya bila ada yang menyalip kendaraannya. Banyak kasus kecelakaan terjadi akibat anak remaja menyalip di jalan raya tanpa memperhatikan kondisi lalu lintas saat itu.
2. Kognitif.
Seusai dengan perkembangannya, remaja memiliki kemampuan terbatas untuk melihat, menganalisis, dan menyimpulkan kondisi lalu lintas. Keterbatasan ini menyebabkan anak tidak bisa berstrategi saat berlalu lintas.
3. Fisik.
Ukuran fisik anak remaja tidak sesuai dengan sebagian besar desain kendaraan bermotor yang diperuntukkan bagi orang dewasa. Sebagian kendaraan bermotor didesain hanya untuk dewasa.
Lalu bagaimana caranya agar anak remaja kita memahami pentingnya kesadaran tentang hal ini?
A. Kasih Sayang
Bangun ikatan hubungan emosional dan komunikasi dengan anak berlandaskan cinta. Anak memiliki kebutuhan untuk didengarkan perasaannya agar emosi yang sedang ia alami biasa mengalir. Sebagai orang tua, mendengarkan keluhan anak tidak hanya membutuhkan sepasang telinga, tapi juga membutuhkan hati, jiwa dan mata kita.
Dengan perhatian penuh, anak merasa mendapatkan perhatian yang dibutuhkannya sehingga ia membangun kepercayaan pada orang tua untuk menjadi tempat berkeluh kesah tentang apa yang mereka rasakan dan beban-beban yang menghimpitnya.
Komunikasi yang membutuhkan hati, jiwa, mata dan telinga ini merupakan syarat utama orang tua agar bisa memeriksa setiap fase pertubuhan psikologis dan fisik anak-anak remajanya. Keterbatasan waktu seringkali menjadi kendala bagi banyak orang tua untuk bisa mendengarkan perasaan-perasaan anak secara penuh.
Apalagi bagi orang tua yang bekerja, biasanya saat pulang kerja sudah kehabisan energi. Belum lagi jika ada pekerjaan yang dibawa pulang dan harus diselesaikan sesegera mungkin. Kondisi ini memaksa anak harus berebut perhatian dengan tugas-tugas kantor orang tuanya, bahkan juga dengan gadget yang selalu dalam genggaman sang ayah dan ibu.
Sebaiknya saat memasuki rumah, para orang tua menyiapkan diri dan tubuh untuk memberi perhatian pada anak. Singkirkan semua masalah-masalah kantor dan aneka gadget sejenak saja untuk memberi waktu pada anak kita berbicara.
B. Logika.
Mengasuh anak tidak cukup hanya mengandalkan cinta, namun juga membutuhkan logika yang menuntut komitmen dan kerja keras. Dengan perkembangan otaknya secara penuh, kita juga harus mendidik dan mengajarkan mereka tentang tanggung jawab dan mengenalkan anak-anak pada rasa kecewa, sakit, sedih dan jatuh bangun.
Jika anak dibiasakan hidup dengan aman dan sempurna mereka akan kesulitan belajar memahami penderitaan. Karena bentuk-bentuk penderitaan di atas merupakan salah satu bentuk pelajaran tentang hidup. Kenalkan juga anak sikap tanggung jawab dan konsekuensi dari semua perilakunya.
Saat anak sedang belajar tentang rasa sakit atau kecewa, orang tua harus berperan sebagai jaring pengaman emosi bagi anak.
Dampingi dan bantu mereka bangkit dari rasa sakit. Beri mereka kesempatan belajar menentukan pilihan-pilihan dalam mengatasi masalahnya dan mengerti setiap konsekuensi yang timbul atas keputusannya. Dengan begini kelak saat anak beranjak dewasa mereka bisa mempunyai sikap dan integritas.
Jadi, mari kita bangun komunikasi yang baik dan hangat berlandaskan cinta, sehingga kita bisa menjadi jaring pengaman emosi bagi anak-anak remaja. Keberhasilan mereka mengatasi gejolak emosinya di masa remaja akan membentuk karakter mereka kelak di masa depan.